sejarah kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib
a. Biografi
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib adalah sepupu Rasullah SAW. Ali bin
Abi Thalib bin Abdul Mutthalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah
Arab, hari Jum’at pada tanggal 13 Rajab tahun 602 M atau 10 tahun sebelum
kelahiran Islam. Usianya 32 tahun lebih muda dari Rasulullah SAW. Rasulullah
mengawinkan Ali dengan putrinya yang bernama Fatimah. Ali adalah salah satu
dari sepuluh orang yang memperoleh jaminan masuk surga dari rasulullah SAW. Ali
ikut dengan Rasulullah SAW sejak bahaya kelaparan mengancam kota mekah, ia
masuk islam pada usia sangat muda. Menurut Hasan Ibrahim Hasan Ali berumur 13
tahun, atau 9 tahun menurut Mahmudunnasir. Ali menemani Rasulullah dalam
perjuangan menegakkan islam di mekah dan di madinah. Kerena Ali sibuk merawat
dan memakamkan jenazah Rasulullah SAW ia tidak sempat ikut membaiat Abu Bakar
sebagai Kholifah, tetapi ia membaiat setelah Fatimah wafat.
Ali adalah orang yang pandai memainkan pedang dan pena, bahkan ia dikenal
sebagai seorang orator. Ia juga seorang yang pandai dan bijaksana, sehingga ia
menjadi penasehat pada zaman khalifah Abu bakar, Umar, dan Utsman.
b. Proses Pengangkatan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Setelah wafatnya utsman bin Affan
karena di bunuh, stabilitas keamanan kota menjadi rawan. Gafiqy bin harb
memegang keamanan kota kira-kira selama lima hari sampai terpilihnya Khaliah
yang baru. Kemudian Ali bin Abi Thalib menggantikan Utsman, menerima baiat dari
sejumlah kaum musim.
Proses pengukuhan Ali menjadi
khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at
di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan,
pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum
pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibai’at menjadi
khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat
senior satu persatu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib,
Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar
bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum
pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi
khalifah. Ali didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar
bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, Ali menghendaki
agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari
sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa
umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang
lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.
c.
Pemerintahan Ali bin
Abi Thalib
Tugas pertama yang dilakukan
oleh khlifah Ali adalah menghidupkan cita-cita Abu Bakar dan Umar, yakni menarik
kembali semua tanah dan hibah yang telah di bagikan oleh Utsman kepada kaum
kerabatnya ke dalam kepemilikan Negara. Ali juga segera menurunkan semua
gubernur yang tidak di senangi oleh rakyat. Utsman bin Hanif diangkat menjadi
penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir,
dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur Mesir yang
dijabat oleh Abdullah. Gubernur Suriah dan Muawiyah juga di menta untuk
meletakkan jabatannya, tetapi ia menolak perintah Ali bahkan tidak mengakui
kekhalifahannya.
Oposisi terhadap Khalifah secara terang-terangan dilakukan oleh Aisyah,
Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alas an pribadi
sehubungan dengan penentangan terhadap Ali. Mereka sepakat menuntut khalifah
segera mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama juga
diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah untuk
menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan
menuduh Ali sebagai dalang terbunuhnya Utsman, jika Ali tidak dapat menemukan
dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Akan tetapi tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan Ali. Pertama, karena
tugas pertama yang mendesak dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti
saat itu ialah memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kependudukkan kekhalifahan.
Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara yang mudah, khalifah
Utsman tidak dibunuh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari mesir, irak,
dan arab secara langsung terlibat dalam perbuatan tersebut.
1. Perang Jamal (36 H/656 M)
Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam, tidak membaiat Ali sebagai
khalifah. Dia menuntut darah Utsman pada Ali. Sedangkan ali tidak menjadikan
masalah ini sebagai perioritas karena kondisinya yang sangat labil. Oleh
karenanya orang syam taat pada kekhalifahan Ali dan Muawiyah menyatakan
memisahkan diri dari kekhalifahannya. Berangkatlah Ali dengan pasukannya dari
kufa, dia telah memindahkan pemerintahan dari madinah ke kufah.
Pada saat itu juga Aisyah bersama Zubair dan Thalhah serta kaum mulimin
dari mekah juga menuju bashrah untuk menetap di sana. Merka berhasil menguasai
bashrah dan menangkap para pembunuh Utsman. Mereka mengirimkan surat kebeberapa
wilayah untuk melakukan hal yang sama. Ali pun mengubah rute perjalanannya dari
Syam ke bashrah. Ali mengirimkan beberapa utusan ke pada Aisyah dan menerangkan
dampak negatif dari apa yang mereka lakukan. Mereka puas dengan apa yang
dikatakan Ali dan mereka kembali ke base pasukan untuk kesepakatan damai.
Kedua belah pihak hamper saja melakukan kesepakatan damai. Namun Abdullah
bin Saba’ dan pengikutnya yana menyimpang mereka ketakutan dan mereka melihat
pertempuran harus terjadi. Kembali mereka berhasil mengobarkan api perang di
antara kedua pasukan Islam. Terjadilah peperangan ini, pertempuran ini terjadi
di depan unta yang membawa tandu Aisyah. Sehingga perang ini di sebut Perang
Jamal (perang unta) yang terjadi pada tahun 36 H. dalam pertempuran ini pasukan
Bashrah kalah. Thalhah dan Zubair
terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah di kembalikan ke
Madinah. Dalam peperangan ini banyak kaum muslimin yang terbunuh. Sebagian
sejarawan menyebutkan ada sekitar 10.000 yang terbunuh. Ada sejarawa yang lain
menyebutkan sebanyak 20.000 kaum mislimin gugur. Maka sejak itu Bashrah masuk
secara penuh dalam pemeritahan ali.
Perang unta ini menjadi sangat penting dalam catatan sejarah Islam,
karena peristiwa itu melibatkan sesuatu yang baru dalam Islam, yaitu untuk
pertama kalinya seorang khalifah turun kemedan perang untuk memimpin langsung
angkatan peranag, dan justru bertikai melawan saudara sesame muslim.
2. Perang Shifin (wilayah sebelah timur syam) 37 H/657 M
Perang ini terjadi antara Ali dan Muawiyah. Delegasi yang diutus antara
Ali dan Muawiyah semuanya tidak menghasilkan apa-apa. sehingga akhirnya kedunya
menempatkan pasukannya di kota tua Shiffin, dekat sunagi eufrat, pada tahun37
H. khalifah ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah.
Sebenarnya pasukan Muawiyah sudah terdesak kalah, dengan 7.000 pasukan
terbunuh. Hampir saja Ali memenangkan peperangan ini.
Pada saat situasi tersebut pasukan syam dan Muawiyah mengangkat
mushaf-mushaf dan meminta agar bertahkim dengan kitab Allah. Siasat ini di
lakukan oleh ‘Amr bin Ash, panglima pasukan Muawiyah, untuk menghentikan
perang. Siasat ini ternyata berhasil dan peperangan segera berhenti. Dari kedua
belah pihak bertemu dan berunding, namun keduanya tidak sampai pada kata
sepakat. Maka, ditulislah lembaran keputusan. Setelah itu kedua pasukan kembali
ke negri masing-masing.
3. Tahkim Shiffin
Konflik antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan di
akhiri dengan tahkim. Dari pihak
khalifah diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan dari pihak Muawiyah
Diwakili oleh ‘Amr bin Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut khalifah
dan Muawiyah harus meletakkan jabatan, pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu
Musa pertama kali menurunkan Ali sebagai khalifah, karena Ali telah diturunkan
oleh Abu Musa. Peperangan Siffin yang di akhiri melalui tahkim
(arbitrase), yakni perselisihan yang diselesaikan oleh dua orang penengah
sebagai pengadil. Namun tidak menyelesaikan masalah, kecuali menegaskan bahwa
gubernur yang maker itu mempunyai kedudukan yang sama atau setingkat dengan
khalifah, dan menyebabkan lahir golongan Khawarij, orang-orang yang keluar dari
barisan Ali, yang kira-kira berjumlah 12.000 orang.
4. Perpecahan Umat (Syi’ah, Khawarij, dan Pendukung Muawiyah)
Setelah Ali menerima tahkim dari pihak Muawiyah, namun tahkim ini
tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebakan umat islam terpecah menjadi 3
golongan yaitu: Syi’ah (pengikut Ali), Khawarij (orang-orang yang keluar dari
barisan Ali), dan Muawiyah. Orang Khawarij dulunya adalah pasukan yang berada
pada pihak Ali. Mereka malah melakukan pemberontakan kepada Ali setelah
terjadinya arbiterasi dan mencopotannya dari kekuasaan dengan alasan bawa ia
menerima tahkim.
Sebagai oposisi kekuasaan yang ada, khawarij mengeluarkan beberapa
statemen yang menuduh orang-orang yang terlibat tahkim sebagai
orang-orang kafir. Khawarij berpendapat bahwa Utsman bin Affan telah
menyeleweng dari agama islam. Demikian pula dengan Ali bin Abi Thalib juga
telah menyeleweng dari agam islam karena melakukan tahkim. Utsman bin
Affan Ali bin Abi Thalib dalam pandangan khawarij, yaitu murtad dan telah
kafir. Politisi yang lain yang di anggap kafir oleh khawari adalah Muawiyah, Ame
bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari, dan semua orang yang menerima tahkim.
Khawarij tampak tidak berada dalam jalur politik, tetapi berada dalam
jalur atau wilayah teologi atau kalam yang merupakan fondasi bagi keberagamaan
umat Islam. Khawarij di anggap keluar dari jalur politik karena menilai kafir
terhadap orang-orang yang ikut dan menerima tahkim. Menurut Harun
Nasution, bukan wilayah politik tetapi wilayah kalam atau teologi.
Ali memiliki pendukung yang sangat fanatic dansetia kepadanya. Dengan
adnya oposisi terhadap pemerintahan Ali, kesetiaan mereka malah semakin
bertambah, apalagi setelah Ali bin Abi Thalib wafat. Mereka yang fanatic
terhadap Ali bin Abi Thalaib dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syi’ah.
Kelompok khawarij yang bermarkas di Nahrawan benar-benar merepoykan
khalifah Ali, sehingga member kesempatan kepada pihak Muawiyah untuk memperkuat
dan memperluaskan kekuasaannya sampai mampu merebut mesir. Akibatnya sungguh
sangat fatal bagi Ali. Tentara semakin lemah, sementara Muawiyah semakin kuat
dan bertambah besar. Keberhasilan Muawiyah mengambil provinsi mesir, berarti
merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali. Kerena
kekuatan Ali telah banyak menurun, terpaksalah Ali menyetujui perjanjian damai
dengan muawiyah, yang secara politis berate khalifah mengakui keabsahan
kepemilikan Muawiyah atas Syiria dan Mesir.
5. Terbunuhnya Ali
Penyelesaian kompromi Ali dengan Muawiyah tidak disukai oleh kaum
perusuh. Kaum khawarij merencanakan untuk membunuh Ali. Muawiyah dan Amar
memilih seorang khalifah yang sehaluan dengan mereka, yang bebas dipilih dari
seluruh umat Islam. Karena itu Adurrahman pengikut setia kaum khawarij,
memberikan pukulan yang hebat kepada Ali sewaktu dia akan Adzan di masjid.
Pukulan itu fatal, dan khalifah wafat pada tanggal 17 ramadhan 40 H.
Dalam kisah yang lain, bahwa kematian khalifah Ali diakibatkan oleh
pukulan pedang beracun yang di lakukan oleh Abdurahman bin Muljam, sebagaimana
dijelaskan Philip k. hatty bahwa:
Pada 24 januari 661, ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju masjid
Kufah, ia terkena hantaman pedang beracum di dahinya. Pedang yang mengenai
otaknya tersebut diayunkan oleh pengikut khawarij, Abd Ar-Rahman bin Muljam,
yang ingin membalas dendam atas kematian keluarga seorang wanita, temannya,
yang terbunuh di Nahrawan. Tempat terkecil didekat kufah yang menjadi makam
Ali.
terima kasih. . .
BalasHapus